John Martono (a.k.a Captain John)

Kepercayaan saya adalah, setiap perupa (baca;seniman) dalam berkarya pasti tidak semata-mata harus mempunyai “persoalan”, karena  istilah tersebut adalah kata pertama ketika terdapat pertanyaan, ”ada apa?”, mengapa?, dan lain-lainnya. Hal itu terjadi jika perupa menghadapi berbagai hal yang secara langsung maupun tidak langsung secara utuh mempengaruhi karyanya. Persoalan bisa diciptakan tanpa ada kaitannya dengan situasi yang ada disekitar seniman, sehingga dalam berkarya pula seniman sebenarnya telah menciptakan persoalan tersendiri. Gejolak (maaf sebenarnya saya lebih senang disebut “gairah”) berpikir perupa tersebut pada hakikatnya sering kita menyebut juga “kegelisahan” yang berujung pada keputusan berkarya sesuatu demi gagasan yang ingin diungkapkan. Karya adalah olahan medium yang dibangun untuk merepresentasikan gagasan tersebut, meskipun tidak ada korelasi langsung antara rupa yang dihasilkan dengan banyaknya gagasan yang timbul ketika berkarya. Pertimbangan-pertimbangan dilakukan lewat penjelajahan media, cara, mengelola media dan cara serta berhenti dalam tahap satu karya. Gairah awal jika dikelola secara terus menerus maka akan menimbulkan gairah-gairah berikutnya, seperti pada karya yang yang secara langsung dianggap menimbulkan “persoalan” maka keputusan dalam menata persoalan dalam gagasan perlu dilakukan dalam tahapan-tahapan berkarya berikutnya. Pengasahan yang terus menerus dalam berkarya akan bermuara pada eksistensi seniman secara pribadi yang sering pula kita sebut sebagai bagian dari identitas seniman tersebut. Identitas secara pribadi bagi seniman secara utuh bisa berarti ciri khas yang membedakan dirinya dengan seniman lainnya. Identitas ini merupakan proses dan berbagai kualitas individu sebagai pencetus gagasan dan wujud karyanya. Identitas sering dilekatkan pada seniman sebagai individu yang berkemampuan membangun  gagasan dan selalu berkeinginan membentuk, serta karya sebagai representasi dari gagasan-gagasan tersebut.  Proses kreatif sering disebut sebagai sarana dan kendaraan dalam berkarya yang oleh Van Peurseun disebut sebagai “surprising language”. Bagaimana aspek intuisi dan emosi berperan dalam keyakinan berkarya tersebut.

Play Dead 2 ini merupakan seri selanjutnya dari Play Dead yang pertama di Galeri Kita setahun lampau. Sekilas menggali ingatan kita tentang Play Dead 1 dimana penjelajahan yang dilakukan Grace, Riri dan Maradita telah mencapai tahap “selanjutnya” dari sebuah perlakuan seniman terhahadap serat dan medium sejenisnya. Dimana serat sudah tidak lagi digarap secara terang terangan sebagai kaidah konstruksi strukural dan serat sebagai jalinan yang harus di olah lebih lanjut pada permukaannya. Serat sebagai filamen bisa berwujud banyak sekali (lihat, encyclopedia of textiles) baik alam maupun artificial (man made fiber) bisa diberhentikan hanya sebagai serat saja, selesai. Akan tetapi pada tahun lalu, mereka bertiga mejelajahi berbagai medium tersebut untuk “diakrabi” dan dijadikan sebagai representasi dari gagasan mereka. Meski secara harfiah masih saja mereka ini belum bisa melepaskan diri dari berbagai perlakuan yang mendasar yang lazim dilakukan dalam dunia serat dan olahan serat tersebut. Maklumlah kebetulan mereka ini memang teman-teman dari dasar prodi yang sama di FSRD ITB yaitu Kriya Tekstil. Dasar pengetahuan mereka selama selama kuliah tentunya tidak bisa hilang begitu saja dan justru melalui pengetahuan dasar tersebut mereka menjelajah serta membuat pengetahuan “dasar” yang baru bagi proses kreatif mereka ini. Yang pasti mereka ini sudah berusaha membuat cakrawala dan perspektif baru dalam dunia Visual Arts. Pembebasan diri dari kaidah dasar misalnya: meninggalkan karya dalam konteks wall pieces, membuat format karya yang tidak tergantung lagi pada tembok sebagai bahan sandaran merupakan salah satu cara dalam berkarya mereka. Ketiga perupa pada Play Dead I sudah menawarkan “kesegaran” tersendiri yang berbeda dengan pameran-pameran seni serat yang pernah ada, tentunya dengan dengan perspektif dan pengalaman mereka sendiri. Terdapat cara tersendiri oleh mereka dalam “mengakrabi” serat sebagai medium berkarya. Tembok sebagai bahan sandaran dan gantungan karya sudah dilakukan sejak era setelah perang dunia kedua yaitu 1950an oleh seniman Amerika pada waktu itu juga terdapat karya-karya seni serat yang masih mengandalkan tembok sebagai gantungan seperti Paul Smith sebagai ahli tenun saat itu. Karena pada awalnya seni serat itu masih bertumpu pada jalinan serat sebagai weaving, macramé. kniting dan basketries. Sebagai sebuah cara kuno ya itulah sejarah yang menyeluruh dari seluruh bagian dunia ini yang memakai sebagai bahan pakaian dan tempat berlindung dari keadaan cuaca yang ekstrim. Akan tetapi pada era yang sama itu pula seniman Amerika ada yang sudah berkarya tidak flat untuk digantung di tembok seperti Tawney dengan cara dasar serat yang menghadirkan karya seperti seni patung 3 dimensi. Di Indonesia sendiri ketika para pendekar seni serat ( meminjam istilah Alm. Sanento Yuliman) dalam pameran di pusat kebudayaan Belanda Erasmus Huis era 1980an, Biranul Anas sudah melakukannya dengan berkarya instalasi dengan seni seratnya.

Pada era 90an, dalam Gelar Karya, Pustaka dan Seminar seni Tapestri di Balai Pertemuan Ilmiah ITB , John Martono telah melakukan dua hal yang berbeda dimana serat dibangun dari “titik” awal  sehingga serat sebagai “pembangun” karya terasa lebih privat dan berkesan intim karena serat tersebut tidak mungkin ditemukan di manapun. Dan yang kedua adalah berkarya dengan menggunakan kawat-kawat yang dililit dengan benang akrilik olahan sendiri dan dibentuk menjadi benda-benda tiga dimensi yang sama sekali tidak mereferensikan bentuk nyata di alam. Karya-karya tersebut di pajang dalam format tiga dimensi dan memerlukan base untuk mendirikannya dan menjadikannya sebuah karya instalasi. Ketika Peristiwa pameran Fiber Conection yang diadakan di Jogjakarta 8 tahun silam juga terjadi berbagai keragaman  ide format penyajian karya seperti yang dilakukan oleh para perupa Jogja,salah satunya adalah Handi Wirman dan Ugo Untoro, juga para seniman Bandung. Begitu juga ketika berpameran di Bentara Budaya Jakarta  dan Galeri Kita di Bandung, seni serat dalam format instalasi juga dilakukan oleh Biranul Anas yang prihatrin atas rusaknya lingkungan, Tiarma D Sirait yang mempersembahkan tema tentang pernikahan dan John dengan “growing” nya. Jadi kadang ada teman yang kurang trendi bertanya dan menyatakan :“ John kapan dong karyamu tidak wall pieces ? atau instalasi ?“…hehehehe..hal ini harus dimaklumi karena peristiwa pameran seni serat dalam setahun, dua tahun dan tiga tahun barangkali bisa dihitung dengan jari, tidak seperti cabang-cabang seni rupa yang lain yang lebih sering peristiwanya. Pergulatan terus menerus dengan” enerji” yang baik membuat kita bertamasya dalam karya yang klasik maupun kontemporer. Dalam gaya klasik pun sebenarnya bisa menjadi kontemporer apabila mengandung gagasan dan sajian rupa yang berbeda dari visual-visual yang kuno.  Sedangkan dalam dunia kontemporer kita pun boleh dan sah meminjam visual-visual kuno untuk menjadi representasi dari ide dan gagasan dalam berkarya. Tinggal pilih saja kok. Juga dalam format penyajian yang yang umum seperti di gantung di tembok maupun yang progresif di tengah ruangan, melayang, atau merespon lingkungan bagi saya bukan sebuah persoalan yang mendasar, itu pilihan dari hasil akhir gagasan seniman saja.  Sementara penjelajahan kualitas bergagasan dan berkarya lebih penting dikedepankan, dan waktu sebagai bagian dari proses tahap berkarya selalu menjajikan “nilai” karya itu sendiri. Kaum Play Dead, merupakan generasi 2000an yang “menjanjikan” sesuatu dalam khazanah seni serat  di masa depan, setelah generasi Biranul Anas dkk 80an, John Martono, Tarma D Sirait, Fifi dkk 90an. Gairah kaum Play Dead patut diapresiasi mengingat mereka adalah generasi termuda, dan “isi” pameran yang kedua ini tidak didominasi oleh alumni dari disiplin ilmu yang sama, melainkan dari berbagai disiplin yang lain misalnya seni patung, seni lukis.

Pertemuan berbagai disiplin ilmu ini pernah terjadi di Amerika, Eropa  (the World Trienale of Tapestry) maupun di Asia (Jepang, Korea) dan juga di Indonesia, pada Fiber Conection, Fiber Face, Asian Fiber Arts, Tenun Kontemporer di North Art Space pada tahun 2008, dll. Sedikit catatan, didalam The  12th International Trienale of Tapestry di Lodz 2 tahun silam , meskipun terang-terangan berjudul demikian, ternyata karya-karya yang dipamerkan oleh hampir 100 seniman tersebut adalah tidak berwujud tapestry. Akan tetapi sangat beragam dan bahkan jauh sekali dengan apa yang disebut tapestry sebagai sebuah hiasan dinding (The New Textile, 1998).  Karya yang hadir sangat beragam dan bahkan 25% karya itu yang masih tapestry klasik, yang selebihnya sudah sangat kontemporer. Sungguh asyik menikmati pameran Trienale ini karena dengan dasar serat dan caranya, mereka melakukan penjelajahan yang jauh sebagai “kendaraan” gagasan mereka.

Dalam Play Dead II ini Grace, Riri dan Maradita tetap hadir dengan cirri mereka masing-masing, Riri masing kuat pengaruh bidang pekerjaannya saat ini yaitu fashion sebagai dasar berkarya. Keterlibatan serat alam dengan olahan yang cermat serta eksperimen yang berani membuat karyanya bisa disebut sebagai haute couture. Kepompong sebagai media yang bebas untuk berkarya merupakan potensi tersendiri dalam “membangun” imajinasi dalam busana dengan gaya yang berbeda. Grace yang sebagai mantan mahasiswa bimbingan saya, sebenarnya lebih dikenal juga sebagai pelantun jenis music jazz yang akhir-akhir ini menjadi sangat eksperimental dengan duo nya menawarkan karya yang masih merupakan kelanjutan dari karya tahun lalu. Pemilihan tema tentang sesuatu yang cantik dan keanggunan dengan sosok burung merak sebagai gagasan visualnya menghadirkan cara berkomunikasi yang berbeda. Dimana bahan-bahan tembaga plat, kawat dan chiffon, dibentuk menjadi sosok burung merak dengan cara yang beragam sebagai hasil eksperimennya sendiri / own technique sejak 3 tahun yang lalu. Kompleksitas terjadi dalam karya ini karena gagasan tentang kecantikan dan keanggunan yang dihadirkan bisa membuat interpretasi tersendiri bagi penikmat. Mungkin pengaruh Grace sebagai seorang pelantun lagu membuat sengat tersendiri bagi hadirnya karya ini. Dalam pameran tahun lalu di ruang pamer Grace diperdengarkan rekaman lagu-lagu dia sendiri dalam mempertegas karyanya, dalam pameran kali ini kita tunggu saja, apa yang bakal dia “perdengarkan”. Maradita, tertarik oleh maraknya perkembangan teknologi yang mebuat kita semakin mudah juga membuat kita semakin kewalahan, hal ini mengingatkan saya ketika nonton film The God Must Be Crazy I, 25 tahun silam dimana ada kalimat pembuka dalam film tersebut yaitu, “Ketika manusia menciptakan teknologi yang baru maka disitulah terdapat kerumitan yang yang baru…”. Dalam karya ini cara-cara dalam dasar berkarya di bidang seni serat masih menjadi titik tolak dalam menghadirkan gagasan. Cakrawala yang luas dalam berkarya tetap menjadi komitmennya dalam menyikapi serat sebagai media yang bisa dibangun lebih lanjut sebagai ranah yang luas dan bebas untuk membentuk sesuatu itu sendiri. Aulia merespon keadaan lingkungan dengan memanfaatkan teknologi cetak digital yang dipadukan dengan quilting dalam karyanya. Terdapat dua hal yang berbeda ketika keterlibatan proses teknologi ini yaitu kemudahan dan sifat klasik dalam quilting. Arum tertarik dengan kata metamorphosis sebagai bagian dari proses kehidupan manusia yang penuh dengan tahap, yang bukan hanya dari bayi, remaja dan tua. Perubahan-perubahan hidup merupakan tahap yang penting karena terkait dengan bagaimana manusia mengalami perubahan sikap. Karyanya meminjam bentuk kepompong sebagai wujud nyata dari sebuah metamorphosis. Chandra masih penasaran dengan eksplorasi benang sutra yang dipadukan dengan keterampilan menggambar sebagai wujud gagasan terhadap berbagai perbedaan yang ada dalam berbagai sisi kehidupan. Dalam karyanya pula ia ingin mencari benang merah yang sebenarnya merupakan titik pertemuan dalam koitmen tertentu dalam hubungan antar manusia. Erika  menghadirkan berbagai memori yang nyata maupun tidak nyata diserap oleh indera dan menjadi pengalaman visual dan ruang imajinasi diberikan seluas-luasnya untuk menikmati karyanya yang memanfaatkan cetak digital murni. Giffarin menghadirkan namanya sebagai judul dari karya ini karena ia menganalogikan teks namanya sebagai jerapah. Karyanya menggunakan cara-cara yang sangat dasar dan klasik yaitu tenunan tapestry seperti yang dilakukan masyarakat Asia selatan, Romawi pada jaman kerajaan kuno. Kiki menghadirkan ide tentang “nothing”, dengan menggunakan cara yang klasik pula yaitu jahitan yang secara nyata bisa dibaca sebagai umpatan yang tanpa makna pula. Mulyana hadir dengan keceriaan sebagai salah satu sisi hidup manusia, dimana dunia imajinasi yang dibangun tersebut sangat sulit dikorelasikan dengan bentuk-bentuk yang ia pilih dalam karya ini. Cara yang klasik digunakan dalam menghadirkan karya ini. Bintan rupanya geli dengan ukuran-ukuran standard untuk busana yang ada di pasaran. Karena ukuran-ukuran tersebut ternyata tidak berhubungan langsung dengan ukuran tubuh yang memakai. Terkadang semua ini kontradiksi antara busana dan bentuk tubuh. Baju dengan jalinan label ukuran standard baju menjadi titik tolak karya ini. Sehingga kita pun dipermainkan oleh karya ini karena kalau kita melihat ukuran barangkali kitapun lebih banyak memaksakan diri untuk menggunakan busana yang mungkin sangat tidak nyaman bagi kita. Nuri 2 tahun yang lalu berpameran tunggal dengan menghadirkan karya-karya tiga demensi menyatakan tentang sebbuah rutinitas hidup sebagai kehidupan yang wajar sehari-hari. Terdapat banyak cerita yang ada dalam rutinitas tersebut. Pengolahan benang dan kain juga kolase masih menjadikan ketertarikan tersendiri dalam menghadirkan karyanya. Andam dengan tema tentang bagaimana keinginannya dalam merasakan kehidupan menggunakan palstik mika dan benang tembaga dalam karyanya. Sulam sebagai cara klasik dalam dunia serat dan kain dipakai dalam mewujudkan karya ini. Teguh bercerita tentang memori yang tidak abadi, dimana baju diperkenalkan kepada kita sebagai sebuah cerita yang tidak benar-benar utuh, melainkan pada bagian bawahnya sedikit agak menerawang dengan struktur tenunan yang sengaja dihilangkan pada bagian pakannya.

Keberagaman yang hadir dalam perayaan Play Dead II, ini merupakan angin segar dengan megajak perupa dari bergbagai disiplin ilmu yang berbeda. Gagasan tentunya tidak pernah “habis”, berbagai cara dalam berkarya seni serat juga masih “terbuka” luas dengan berbagai penjelajahan ruang keliaran dan gairah imajinasinya. Selamat menikmati…… Dan percayalah ini BUKAN sebuah KENISCAYAAN.

 

John  Martono (a.k.a Captain John)

Perupa dan penyanyi

Pagesari 13 Desember2010

 


Leave a comment